Friday 4 September 2020

Merenda Harap

Pandemi belum juga berakhir

Satu dua hal yang direncanakan seolah mangkir

Sesuatu yang tak pernah terfikir

Atas kuasa-Nya begitu saja hadir


Tak bersua dengan manusia

Tak bercakap dengan tetangga

Menjadi suatu hal yang tak biasa

Kali ini giliran rindu bercerita


Sesulit apapun itu, semoga tak ada prasangka

Membiarkan jalan cerita ini mengalir apa adanya

Friday 31 July 2020

Mengenang Perjuangan

Hari ini adalah hari dimana seluruh umat islam di seluruh dunia merayakan hari raya Idul Adha. 
Namun tentu saja Idul Adha pada tahun ini terasa berbeda. 
Ya, pandemi Corona masih menjelajahi tempat tinggal kita semua, oleh karena itu tak semua masjid penuh sesak dengan jam'ah shalat Ied, tak semua tempat penyembelihan hewan qurban penuh dengan anak-anak kecil yang mengamati penyembelihan hewan qurban. 

Lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, hari ini membuat saya sedikit banyak bernostalgia tentang shalat Idul Adha terakhir di kampus. 
Tidak pernah terbayang sebelumnya bahwa tahun lalu adalah shalat ied terakhir saya di kampus. Lagi-lagi karena Corona. Namun atas semuanya, masih banyak hal yang harus disyukuri bukan? :) 

Di akhir masa studi ini, saya banyak diingatkan oleh empat tahun perjalanan saya di kampus. Bagi saya, setiap semester selalu memiliki tantangan dan kenangan tersendiri. 

Semester satu, banyak dihadapkan pada realita bahwa ternyata kehidupan di luar begitu dinamis. 
Semester dua sudah mulai membiasakan diri sebagai anak kuliahan.
Semester tiga mulai jadi 'penikmat' organisasi kampus.
Semester empat belajar menjadi 'penggerak' kampus. 
Semester lima masih berkutat di organisasi sembari memikirkan rencana magang dan tugas akhir.

Belum selesai berorganisasi di semester lima, di semester enam justru saya turut menjadi bagian 'top position' di organisasi tingkat fakultas. Sudah ngos-ngosan sekali rasanya, ingin berhenti dari organisasi, mulai menggarap skripsi layaknya mahasiswa lain, tapi nyatanya Allah tetap inginkan hamba-Nya yang hina ini membagi sedikit yang dimiliki untuk generasi setelahnya. 
Tetapi betapa Maha Baiknya Allah. Di semester enam, walaupun sudah 'ngos-ngosan' (bahasa jawa, re: capek) berorganisasi, Allah anugerahkan kesempatan untuk mengikuti lomba MTQMN (Musabaqah Tilawatil Qur'an Mahasiswa Nasional) di Aceh yang sudah sejak semester tiga saya cita-citakan. Alhamdulillahilladzi bini'matihi tatimmusshalihat. Meskipun tidak menang, namun rasa syukur atas pengalaman karantina selama tiga bulan sebelum keberangkatan ke Aceh dan segala pembelajaran tetap terukir di hati. Segalanya hanya karena Allah. 

Semester tujuh masih di posisi yang sama dengan semester enam. Di awal semester tujuh, saya sempat bolak-balik melakukan perjalanan Sidoarjo-Malang PP empat kali sepekan selama satu bulan dikarenakan orang tua saya sedang haji dan saya harus mengurus kedua adik saya. Urusan organisasi tidak bisa membuat saya serta merta berdiam diri di Sidoarjo, maka dari itu saya harus PP Sidoarjo-Malang dan sebaliknya. Bagi orang lain mungkin tidak terlalu sulit. Tapi bagi saya terkadang rasa lelah itu muncul; menggantikan peran ayah dan ibu -karena kami tidak punya ART- (re: masak, mencuci baju, beres-beres rumah, mengantar-jemput sekolah adik-adik, dll) dan masih harus mengurus organisasi di Malang itu sesuatu sekali. Belum lagi harus mulai menghubungi dosen pembimbing skripsi yang tidak selalu ada setiap hari :D Namun dari sini saya belajar, menjadi orang tua tidak sebercanda itu ya! :D Butuh tanggung jawab juga ilmu :)

Di semester delapan, banyak hal yang berubah, atau saya yang berubah? Wkwk
Urusan skripsi, tugas akhir, menjadi satu hal baru dan mau tidak mau, suka tidak suka harus dilakukan (dan diselesaikan tentunya haha). 
Di semester delapan, saya bertekad untuk mencari pekerjaan sembari menyelesaikan skripsi. Alhamdulillah saya diterima mengajar di sebuah Rumah Tahfidz Balita di Malang. Sama seperti niat saya di awal ketika ingin mengajar, 'saya cuma pengen belajar gimana sih cara mendidik'. Dengan kesoktauan saya, saya berusaha menjalani hari-hari yang lumayan berat. Menghadapi anak berusia 3-5 tahun yang masih suka berlari kesana kemari, nangis, bahkan ngompol (wkwk) itu MasyaAllah :) Hingga sampailah pada bulan April, saya mengalami kecelakaan dan mengharuskan istirahat selama dua bulan dan mengurangi aktivitas (saran dokter), akhirnya saya memutuskan resign dari mengajar. 
Awalnya sempat ragu tapi tak apa, InsyaAllah ini pilihan yang terbaik :)

Ya, ternyata setiap detik kita adalah perjuangan.
Dan menurut saya, tidak ada perjuangan yang tidak layak dikenang.
Lebih dari itu, perjuangan yang sudah kita lalui di hidup sebelumnya semoga memberi satu kekuatan di masa sekarang dan selanjutnya bahwa hidup akan terus berjalan, bersama atau tanpa kita. 
Jadikan perjuangan kita di masa lalu menjadi pelecut semangat berjuang kita di masa sekarang dan masa depan :))
Jadi, perjuangan mana yang ingin kamu kenang? :)

Sidoarjo, 31 Juli 2020, 9:52 pm 

Saturday 18 July 2020

Persimpangan

Bismillah.
Alhamdulillah, setelah dua bulan 'mangkir' menulis, Allah gerakkan jemari saya untuk kembali ke sini,
setelah banyak hal terlewati.

Beberapa hari ini, banyak kabar membahagiakan, namun tidak sedikit juga kabar menyedihkan. 
Baru saja, ba'da maghrib tadi, Ayah memberi kabar bahwa salah seorang sahabat dekatnya telah Allah panggil menghadap-Nya. Sahabat yang merawat Ayah saya pasca operasi, sahabat Ayah saya yang begitu mulia cita-citanya; ingin membangun rumah sakit yang diperuntukkan khusus orang muslim. 
Beliau pernah menyampaikan, "Sudahlah, kita (para dokter) itu hidupnya biasa saja, yang sederhana saja, para ahli pendidikan itu sudah berhasil membangun banyak sekolah islam, masa kita para dokter belum bisa membangun rumah sakit islam."

Qadarullah, sebelum cita-citanya tercapai, Allah panggil terlebih dahulu ke sisi-Nya. 
Amal-amal baiknya menjadi kenangan di setiap orang yang mengenalnya. Allahummaghfirlahu warhamhu wa 'afihi wa'fu 'anhu.

Satu bulan yang lalu, orang tua juga mengabarkan bahwa mereka telah kehilangan salah seorang sahabat terdekatnya pula. Sahabat yang telah merawat banyak pasien yang terinfeksi corona. Dan ternyata, corona juga merenggut nyawa sahabat kedua orang tua saya. 

Meskipun saya tidak mengenal sahabat orang tua saya secara personal, tapi saya turut merasakan kehilangan yang sangat. 
Bagaimana tidak, kehilangan orang yang telah banyak berjasa dalam hidup kita, kemudian Allah panggil, meninggalkan kenangan baik di setiap hati orang yang ditinggalkannya. 

Di masa pandemi ini, sepertinya, 'mati' adalah hal yang terlihat mudah. Setiap hari, kita disuguhkan berita tentang tenaga medis, karyawan, atau rakyat biasa yang meninggal karena terinfeksi Corona. 
Maka pertanyaannya adalah, sudah sejauh mana kita mempersiapkan diri untuk kehidupan yang nyata nanti?
Rumah yang kita miliki, pengetahuan yang kita miliki, karya yang kita cipta sendiri, sejatinya hanya titipan yang nantinya akan kembali. Hanya amal jariyah yang masih bertahan mengaliri diri kita di kubur nanti. Hidup ini bagai persimpangan di tengah jalan, sebelum nanti bertemu jalan terakhir yang akan mengantarkan kita kembali.

Maka mari bersama-sama menanggalkan ego kita sejenak untuk membantu dan meringakan beban saudara kita, bagaimanapun caranya asal diridhai-Nya.
Maka mari bersama-sama, kita mencari ladang kebaikan yang dengannya kita bisa menginvestasikan pahala yang mempermudah kita ketika datang hisab-Nya. 
Jangan sia-siakan ladang kebaikan yang telah menanti kita di depan mata, karena sekali lagi, kita mati tidak membawa apa-apa, hanya amal jariyah dan doa orang-orang yang 'sudi' mendoakan kita. 
Jangan hanya membangun networking dunia, tapi carilah networking akhirat dengan banyak membantu, beramal, agar nantinya orang yang kita bantu, orang yang kita ringankan bebannya di dunia, berkenan mendoakan kebaikan untuk kita. 

Semoga kelak Allah panggil kita dalam keadaan yang terbaik, dengan husnul khatimah.


Sidoarjo, 18 Juli 2020 9:18 PM




Saturday 2 May 2020

Kesempatan Kedua

Bismillah.

Kali ini saya ingin bercerita, lebih tepatnya merefleksi diri dari peristiwa yang saya alami kurang lebih satu bulan lalu.

Hari Jum'at malam itu, 3 April 2020, peristiwa -yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya- itu terjadi. Selepas Shalat Isya bersama keluarga di lantai dua rumah, saya mengambil smartphone untuk mengambil foto suasana malam hari dari balkon rumah lantai dua.

Qadarullah, ketika itu saya dan keluarga baru saja pindah rumah. Kondisi rumah belum sepenuhnya selesai direnovasi. Di balkon lantai dua, ada lubang untuk dipasang tangga putar nantinya, tetapi malam itu, tangga memang belum terpasang, sehingga kami (keluarga) memang harus ekstra hati-hati jika berjalan di balkon. Karena lubang itu akan langsung menyambung ke teras rumah lantai satu.

Posisi saya ketika itu menghadap barat, sedangkan lubang tangga berada di timurnya. Saya membelakangi lubang tersebut. Untuk mencari angle foto yang bagus, saya mundur dan mencari posisi yang terbaik -versi saya-.

Sampai, saya tidak menyadari di belakang saya ada lubang untuk tangga yang belum terpasang. Saya berjalan mundur..mundur..mundur.. Daaan....

Saya seperti sedang melakukan terjun payung saat itu. Yang saya ingat, saya berteriak "Ummiiiiiii..." Pandangan saya gelap. Saya menutup mata. Masih sedikit tidak percaya akan 'terbang' seperti ini.

Daaaasssss! Tubuh saya terhempas di atas ubin teras rumah lantai satu dengan benturan yang sangat keras. Saya terjatuh dari balkon rumah lantai dua ke teras rumah lantai satu setinggi tiga meter.

"AAAAAA..." teriak saya waktu itu

Saya merintih kesakitan.

Sayup saya mendengar suara banyak orang mengucap "Innalillaaah..."

"Mbaak, Astaghfirullah........ Istighfar mbaaak, istighfar mbaaak.. Dek Diba tolong ambilkan minum. Ya Allah nak..nak... Istighfar mbak, istighfar mbak Alifa.. Mbak Alifa denger ummi kan mbaak? Mbaak.."

Saya mendengar dengan setengah sadar kata-kata Ummi (ibu) saya ketika itu. Saya hanya merintih kesakitan dan sedikit sulit bernafas, mungkin karena kondisi badan masih shock.

"Aaa.. Astahgfirullah.. Aaaa.." Saya terus merintih kesakitan.

"Iya sebentar ya mbak, habis ini ke rumah sakit. Sabar ya nak.. sabar.. Ya Allah.." Suara ummi menandakan betapa paniknya beliau saat itu.

Kemudian saya dibopoh oleh tetangga dekat rumah untuk masuk ke mobil.

Dan ngeeeng, mobil yang Abi (Ayah) kendarai melesat cepat menuju rumah sakit terdekat

Dalam perjalanan menuju rumah sakit, hanya terdengar suara isak tangis Ummi, juga Abi yang terus mengucap "Laa haula Wa Laa Quwwata Illaa Billah.." terus begitu..

Beberapa menit kemudian, sampailah saya, Abi dan Ummi di rumah sakit.

Para perawat segera mengambil hospital bed dan menidurkan saya di atasnya. Hospital bed segera melaju ke ruang IGD. Tekanan darah saya diperiksa, dan suster segera menelfon dokter spesialis tulang untuk bertanya tindakan apa yang harus dilakukan untuk saya.

Beberapa menit kemudian, saya diharuskan untuk rontgen bagian tubuh yang sangat nyeri saat itu.

Ummi masih terisak sembari menyuruh saya untuk selalu istighfar..

Setelah kurang lebih 20 menit berada di ruang rontgen, saya diperbolehkan menuju ruang IGD lagi, dan suster berkata ke Ummi "Bu, opname ya"
Saya mendengar samar-samar percakapan Ummi dan suster.
Ummi dan Abi kemudian berdiskusi sebentar dan menyetujui bahwa saya akan diopname.

Tidak lama setelah itu, suster kembali lagi "Ibu, mohon maaf, karena ternyata kamarnya penuh dan kondisinya sedang corona, sehingga pasien yang masih memungkinkan rawat jalan, lebih baik rawat jalan saja nggih.."

Ummi mengangguk, hanya berharap mendapat penangangan terbaik untuk anaknya.

Setelah itu, datang suster yang lain dengan membawa hasil rontgen.
Alhamdulillah, tidak ada tulang yang patah, hanya memar di otot saja, begitu kata suster.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ya, tulisan di atas adalah kronologi peristiwa 'terjun payung' yang saya alami kurang lebih satu bulan yang lalu.

Betapa Maha Baiknya Allah masih memberi saya kesempatan kedua untuk 'melanjutkan hidup'. Tidak terbayang bila akhirnya saat itu adalah saat terakhir saya membuka mata akibat benturan yang begitu keras. Tidak terbayang bila akhirnya Allah membuat salah satu tulang saya patah atau kepala saya terkena gagar otak akibat benturan keras dengan ubin teras rumah saat itu.
Karena di tahun 2016, Abi pernah jatuh dari atap rumah setinggi dua meter dan Qadarullah kaki beliau patah dan harus berjalan menggunakan kruk selama enam bulan.

MasyaAllah..

Haadza min fadhli Rabbi..

Untuk nafas yang telah kita hirup selama bertahun kita hidup
Untuk seluruh kenikmatan yang Allah beri selama bertahun tinggal di bumi
Rasa-rasanya tak pantas bagi kita menggerutu dan merasa kurang atas semua karunia yang Allah beri secara cuma-cuma

Mari, belajar bersyukur, apapun dan bagaimanapun keadaannya, karena Allah Maha Tau segala tentang hamba-Nya.

Sidoarjo, 2 Mei 2020
9:39 PM

Saturday 11 April 2020

Tentang Perspektif dan Bahagia


Bismillah.

Sudah satu tahun lamanya saya tidak menulis apapun disini :)) Alhamdulillah kali ini hati saya Allah gerakkan untuk kembali menulis, hitung-hitung mencari kegiatan untuk tetap produktif walaupun #SemuanyaFromHome :) 

Saya bukan tipe orang yang suka dikenal atau diperhatikan (emang ada yang merhatiin? Wkwk). Kalau teman-teman, kakak tingkat atau adik tingkat saya mendesain kegiatannya dengan membuat diskusi publik secara daring di akun sosial medianya masing-masing, saya justru orang yang pertama kali akan mengangkat bendera putih karena ‘bukan saya banget’, haha. Maka saya coba untuk menstimulus kembali kemampuan linguistik yang Allah beri ini untuk kembali menekuni hobi sejak SD, menulis.

Saya hanya ingin menulis apa yang selama ini saya rasakan dan terpendam. Barangkali teman-teman pembaca mempunyai dan merasakan hal yang sama dengan saya yang kemudian kita bisa saling bertukar cerita :)

Ya.
Hal pertama yang akan saya tulis adalah tentang PERSPEKTIF.

Dalam tiga bulan terakhir, rasa-rasanya hidup saya semakin berat. Mengingat, jumlah semester yang saya jalani saat ini sudah bukan angka yang kecil lagi, dan menandakan ‘tuntutan’ dari orang tua dan lingkungan untuk segera menyelesaikan studi dan melanjutkan hidup di tempat yang lain akan semakin besar.

Bukan hanya itu, masih banyak ‘tuntutan’ lain selain tugas akhir dan segala tetek bengeknya. Masih ada amanah organisasi yang harus dijalani dengan sebaik-baiknya.

Pada akhirnya, saya berfikir bahwa, hal-hal di atas mungkin tidak akan terasa berat dijalani ketika kita menggunakan perspektif yang berbeda. Ketika kita memandang hal tersebut sebuah ‘tuntutan’, maka kita akan selalu merasa dituntut, dikejar, ditagih, dan lain sebagainya.

Akan menjadi berbeda bila kita menggunakan perspektif ‘tantangan’. Energi yang yang kita gunakan insyaAllah akan tersalurkan dengan positif ketika kita melihat semua itu dengan perspektif ‘tantangan’. Setidaknya, kita akan memotivasi diri kita untuk menyelesaikan tantangan tersebut. Dan ketika dengan izin Allah kita berhasil menyelesaikan tantangan tersebut, kita bisa berkata pada diri sendiri “MasyaAllah, dengan izin-Nya, ternyata aku bisa ya”.

Ya, semua itu ternyata hanya tentang cara pandang kita terhadap sesuatu. Maka kemudian, mari belajar bersama menciptakan hal-hal positif untuk diri kita yang kemudian bisa kita salurkan ke orang lain :)

Hal kedua yang ingin saya bahas adalah tentang BAHAGIA.

Entah mengapa, semakin dewasa, saya merasa tolak ukur bahagia menjadi semakin sederhana. Di umur saya yang ke 21 ini, saya merasa, saya hanya butuh ‘mencintai pekerjaan yang saya lakukan’, tidak lebih. Berbeda ketika saya masih berumur 17-18 tahun, saya bahagia ketika saya memiliki ini dan itu, mencapai ini dan itu, daaaaan masih banyak ini itu lainnya. Bagi saya, bahagia bukan lagi soal materi, followers instagram, jumlah like di postingan, atau apapun itu. Berkumpul, berdiskusi dengan keluarga adalah hal paling membahagiakan yang saya rasakan. Alhamdulillah.

Kemudian pertanyaannya, apakah kita mau menyederhanakan bahagia kita? :D
----------------------------------------------------
Ketika saya membaca ulang tulisan saya di atas, ternyata, arah tulisan saya lebih kepada bahasan kesehatan mental ya? Padahal untuk membahasnya secara teoritis saya bukanlah orang yang mempunyai kapabilitas di bidang itu, hehe. Tapi semoga singkat yang saya tulis ini, ada manfaat yang bisa dipetik, dan memberi energi positif bagi pembaca sekalian. Allahu A’lam.

Sidoarjo, 11 April 2020, 9:49 pm.

Sunday 30 December 2018

Sunday 16 December 2018

Saat semua orang berlomba untuk menjadi sempurna, sepertinya sederhana menjadi hal yang langka. Begitu katanya.

Tentang sederhana, bahagia, atau menyederhanakan bahagia?


Merenda Harap

Pandemi belum juga berakhir Satu dua hal yang direncanakan seolah mangkir Sesuatu yang tak pernah terfikir Atas kuasa-Nya begitu saja hadir ...