Bismillah.
Sudah satu tahun lamanya saya tidak menulis apapun disini :)) Alhamdulillah kali ini
hati saya Allah gerakkan untuk kembali menulis, hitung-hitung mencari kegiatan
untuk tetap produktif walaupun #SemuanyaFromHome :)
Saya bukan tipe orang yang suka dikenal atau diperhatikan
(emang ada yang merhatiin? Wkwk). Kalau teman-teman, kakak tingkat atau adik
tingkat saya mendesain kegiatannya dengan membuat diskusi publik secara daring
di akun sosial medianya masing-masing, saya justru orang yang pertama kali akan
mengangkat bendera putih karena ‘bukan
saya banget’, haha. Maka saya coba untuk menstimulus kembali kemampuan linguistik
yang Allah beri ini untuk kembali menekuni hobi sejak SD, menulis.
Saya hanya ingin menulis apa yang selama ini saya rasakan
dan terpendam. Barangkali teman-teman pembaca mempunyai dan merasakan hal yang
sama dengan saya yang kemudian kita bisa saling bertukar cerita :)
Ya.
Hal pertama yang akan saya tulis adalah tentang PERSPEKTIF.
Dalam tiga bulan terakhir, rasa-rasanya hidup saya semakin
berat. Mengingat, jumlah semester yang saya jalani saat ini sudah bukan angka
yang kecil lagi, dan menandakan ‘tuntutan’ dari orang tua dan lingkungan untuk
segera menyelesaikan studi dan melanjutkan hidup di tempat yang lain akan
semakin besar.
Bukan hanya itu, masih banyak ‘tuntutan’ lain selain tugas
akhir dan segala tetek bengeknya. Masih ada amanah organisasi yang harus
dijalani dengan sebaik-baiknya.
Pada akhirnya, saya berfikir bahwa, hal-hal di atas mungkin
tidak akan terasa berat dijalani ketika kita menggunakan perspektif yang
berbeda. Ketika kita memandang hal tersebut sebuah ‘tuntutan’, maka kita akan
selalu merasa dituntut, dikejar, ditagih, dan lain sebagainya.
Akan menjadi berbeda bila kita menggunakan perspektif ‘tantangan’.
Energi yang yang kita gunakan insyaAllah akan tersalurkan dengan positif ketika
kita melihat semua itu dengan perspektif ‘tantangan’. Setidaknya, kita akan
memotivasi diri kita untuk menyelesaikan tantangan tersebut. Dan ketika dengan
izin Allah kita berhasil menyelesaikan tantangan tersebut, kita bisa berkata
pada diri sendiri “MasyaAllah, dengan
izin-Nya, ternyata aku bisa ya”.
Ya, semua itu ternyata hanya tentang cara pandang kita
terhadap sesuatu. Maka kemudian, mari belajar bersama menciptakan hal-hal
positif untuk diri kita yang kemudian bisa kita salurkan ke orang lain :)
Hal kedua yang ingin saya bahas adalah tentang BAHAGIA.
Entah mengapa, semakin dewasa, saya merasa tolak ukur
bahagia menjadi semakin sederhana. Di umur saya yang ke 21 ini, saya merasa,
saya hanya butuh ‘mencintai pekerjaan yang saya lakukan’, tidak lebih. Berbeda ketika
saya masih berumur 17-18 tahun, saya bahagia ketika saya memiliki ini dan itu,
mencapai ini dan itu, daaaaan masih banyak ini itu lainnya. Bagi saya, bahagia
bukan lagi soal materi, followers instagram, jumlah like di postingan, atau
apapun itu. Berkumpul, berdiskusi dengan keluarga adalah hal paling
membahagiakan yang saya rasakan. Alhamdulillah.
Kemudian pertanyaannya, apakah kita mau menyederhanakan
bahagia kita? :D
----------------------------------------------------
Ketika saya membaca ulang tulisan saya di atas, ternyata,
arah tulisan saya lebih kepada bahasan kesehatan mental ya? Padahal untuk
membahasnya secara teoritis saya bukanlah orang yang mempunyai kapabilitas di bidang itu, hehe. Tapi
semoga singkat yang saya tulis ini, ada manfaat yang bisa dipetik, dan memberi energi
positif bagi pembaca sekalian. Allahu A’lam.
Sidoarjo, 11 April 2020, 9:49 pm.
No comments:
Post a Comment