Saturday 11 April 2020

Tentang Perspektif dan Bahagia


Bismillah.

Sudah satu tahun lamanya saya tidak menulis apapun disini :)) Alhamdulillah kali ini hati saya Allah gerakkan untuk kembali menulis, hitung-hitung mencari kegiatan untuk tetap produktif walaupun #SemuanyaFromHome :) 

Saya bukan tipe orang yang suka dikenal atau diperhatikan (emang ada yang merhatiin? Wkwk). Kalau teman-teman, kakak tingkat atau adik tingkat saya mendesain kegiatannya dengan membuat diskusi publik secara daring di akun sosial medianya masing-masing, saya justru orang yang pertama kali akan mengangkat bendera putih karena ‘bukan saya banget’, haha. Maka saya coba untuk menstimulus kembali kemampuan linguistik yang Allah beri ini untuk kembali menekuni hobi sejak SD, menulis.

Saya hanya ingin menulis apa yang selama ini saya rasakan dan terpendam. Barangkali teman-teman pembaca mempunyai dan merasakan hal yang sama dengan saya yang kemudian kita bisa saling bertukar cerita :)

Ya.
Hal pertama yang akan saya tulis adalah tentang PERSPEKTIF.

Dalam tiga bulan terakhir, rasa-rasanya hidup saya semakin berat. Mengingat, jumlah semester yang saya jalani saat ini sudah bukan angka yang kecil lagi, dan menandakan ‘tuntutan’ dari orang tua dan lingkungan untuk segera menyelesaikan studi dan melanjutkan hidup di tempat yang lain akan semakin besar.

Bukan hanya itu, masih banyak ‘tuntutan’ lain selain tugas akhir dan segala tetek bengeknya. Masih ada amanah organisasi yang harus dijalani dengan sebaik-baiknya.

Pada akhirnya, saya berfikir bahwa, hal-hal di atas mungkin tidak akan terasa berat dijalani ketika kita menggunakan perspektif yang berbeda. Ketika kita memandang hal tersebut sebuah ‘tuntutan’, maka kita akan selalu merasa dituntut, dikejar, ditagih, dan lain sebagainya.

Akan menjadi berbeda bila kita menggunakan perspektif ‘tantangan’. Energi yang yang kita gunakan insyaAllah akan tersalurkan dengan positif ketika kita melihat semua itu dengan perspektif ‘tantangan’. Setidaknya, kita akan memotivasi diri kita untuk menyelesaikan tantangan tersebut. Dan ketika dengan izin Allah kita berhasil menyelesaikan tantangan tersebut, kita bisa berkata pada diri sendiri “MasyaAllah, dengan izin-Nya, ternyata aku bisa ya”.

Ya, semua itu ternyata hanya tentang cara pandang kita terhadap sesuatu. Maka kemudian, mari belajar bersama menciptakan hal-hal positif untuk diri kita yang kemudian bisa kita salurkan ke orang lain :)

Hal kedua yang ingin saya bahas adalah tentang BAHAGIA.

Entah mengapa, semakin dewasa, saya merasa tolak ukur bahagia menjadi semakin sederhana. Di umur saya yang ke 21 ini, saya merasa, saya hanya butuh ‘mencintai pekerjaan yang saya lakukan’, tidak lebih. Berbeda ketika saya masih berumur 17-18 tahun, saya bahagia ketika saya memiliki ini dan itu, mencapai ini dan itu, daaaaan masih banyak ini itu lainnya. Bagi saya, bahagia bukan lagi soal materi, followers instagram, jumlah like di postingan, atau apapun itu. Berkumpul, berdiskusi dengan keluarga adalah hal paling membahagiakan yang saya rasakan. Alhamdulillah.

Kemudian pertanyaannya, apakah kita mau menyederhanakan bahagia kita? :D
----------------------------------------------------
Ketika saya membaca ulang tulisan saya di atas, ternyata, arah tulisan saya lebih kepada bahasan kesehatan mental ya? Padahal untuk membahasnya secara teoritis saya bukanlah orang yang mempunyai kapabilitas di bidang itu, hehe. Tapi semoga singkat yang saya tulis ini, ada manfaat yang bisa dipetik, dan memberi energi positif bagi pembaca sekalian. Allahu A’lam.

Sidoarjo, 11 April 2020, 9:49 pm.

Merenda Harap

Pandemi belum juga berakhir Satu dua hal yang direncanakan seolah mangkir Sesuatu yang tak pernah terfikir Atas kuasa-Nya begitu saja hadir ...